Ayah Bunda yang dirahmati Allah. Ini tentang konteks parent engagement. Tentang kelekatan orang tua dengan anak. Tentang keterlibatan orang tua dalam proses pengasuhan.

Pertanyaannya, apakah yang disebut keterlibatan itu berarti harus ada dan bersama selama 24 jam dengan anak-anak? Tidak demikian, Ayah Bunda. Mengapa? Karena keterlibatan bukan saja berbicara waktu, melainkan berbicara esensi selain waktu.

Sederhananya, mari kita tipologi keluarga dilihat dari kebersamaan berdasarkan waktu.

Ada keluarga di mana kedua orang tua beraktivitas berangkat dari rumah dalam waktu dan dan durasi yang hamper sama, yakni dari pagi hingga sore.

Ada keluarga, di mana salah satu orang tua bekerja di rumah dan atau sebaliknya (yang satu di luar ruma, yang satu di rumah)

Ada keluarga di mana kedua orang tuanya setiap hari beraktivitas di rumah (usaha online atau memang kantornya di rumah).

Ada keluarga, di mana ayahnya bekerja di luar pulau yang mengharuskan LDR dengan istri dan anak dalam waktu sekian pecan atau sekian bulan.

Hal demikian, tentu saja tidak bisa digeneralisasi. Artinya, kita tidak bisa menilai atau menyimpulkan bahwa yang terbaik untuk keluarga adalah yang berkumpul selalu di rumah. Karena –sekali lagi-, ikatan itu tidak bisa diukur hanya dari waktu. Melainkan, bagaimana keterlibatan itu hadir dari doa dan harapan, dari komunikasi yang dibangun antara suami dan istri, bahkan dari sesederhana penggunaan teknologi seperti video call dan atau sejenisnya.

Sebaliknya, ada sebuah keluarga di mana potensi bertemu dan bersama anak itu cukup besar, belum tentu juga sudah terjamin adanya ikatan. Karena bersama secararaga, belum tentu bersama secara jiwa. Contohnya:

Seharian penuh bersama-sama dengan keluarga, tetapi luput dari obrolan, luput dari sapaan, luput dari ekspresi kasih sayang, dan sejenisnya. Bahkan untuk sesederhana bertanya padaanak tentang siapa temannya, siapa bapak ibu gurunya, dan lain-lain.

Seharian penuh bersama-sama dengan keluarga, tetapi tidak meluangkan waktu untuk membangun komunikasi tentang harapan masa depan, tentang impian anak-anak, tentang afirmasi, dan sejenisnya. Sudahkah dengan sengaja kita mengajak anak untuk membuat road map masa depan mereka? Atau minimal, mengajak mereka membuat impian sekian tahun ke depan.

Seharian penuh bersama-sama dengan anak, tetapi luput dari mengingatkan kewajiban ibadah yang lumrahnya ditempuh seperti salat dan mengaji, luput dari mengingatkan tugas-tugas sekolah yang harus dituntaskan.

Seharian penuh bersama anak-anak, tetapi hampir tidak melibatkan mereka dalam dzikir ba’da salat, baik salat wajib maupun salat sunah.

Jadi, kelekatan atau kebersamaan atau keterlibatan itu butuh kualitas. Bukan sekadar kuantitas (waktu). Yuk, Ayah Bunda. Mari menjadi orang tua yang benar-benar ada. Jangan sampai kita ada tetapi tiada.

Terlebih jika kita dalam kondisi galau, stuck, marah, dan sejenisnya, lalu kita tidak berselera untuk berbicara dengan siapa pun di dalam rumah, yang pada akhirnya kita berdiam diri dalam waktu yang cukup lama. Selain kontraproduktif, juga dapat melepaskan ikatan kasih sayang kita dengan keluarga (dengan suami, dengan anak-anak).

Mari buktikan bahwa kita ada dan memang ada. Bukan ada tapi tiada.

 

Kreator: Miarti Yoga

 

 

Leave a Comment